Agar Bangsa Ini Tak Lagi Jadi Kuli


"Bangsa apapun, apalagi bangsa kita, tidak mungkin dapat mencapai kemajuan tanpa sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik tidak akan dapat kita peroleh tanpa pendidikan yang baik."

"Bangsa yang maju bukan tergantung pada luas wilayah atau melimpahnya kekayaan sumber alamnya, melainkan karena spiritnya, kemauannya, inovasinya. Singapura lebih kecil dan maju luar biasa;pendapatannya bisa 10 kali dibanding Indonesia. Dia jadi bangsa yang maju; kenapa? Karena orangnya, karena spiritnya, karena pengetahuannya, dan karena kemauannya.



Contoh lain adalah, saat Jepang dan Jerman habis kalah perang. Pertanyaan yang mendasar adalah semangat berusaha bangsa itu apakah masih ada? Lalu pertanyaan berikutnya, apakah guru tetap ada di negara tersebut? Karena kedua-duanya tetap ada, Jepang yang hancur dan Jerman yang hancur tetap maju melampaui banyak negara lain. Itu terjadi lantaran spirit dan pendidikan di kedua negara itu tetap ada dan mereka tidak tersita perhatiannya pada apa yang telah hancur, tapi mereka dengan spirit, ketegaran dan inovasinya justru termotivasi untuk membangun dan memajukan ekonomi bangsanya"



Sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1950-an, rata-rata semua negara Asia memiliki pendapatan hampir sama yakni pendapatan perkapita 200 dolar AS per tahun: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Korea, Taiwan. Kenapa kemudian ada yang maju dan tidak? Yang membedakan adalah kultur untuk meraih kemajuan.



Berbagai hasil survei yang dilakukan oleh lembaga internasional memberikan hasil yang memiriskan. Salah satunya adalah hasil survei TIMSS (Trends in International Mathematics and Sciences Study). Lembaga yang berada di bawah payung International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 untuk bidang matematika dan posisi ke-36 untuk bidang sains dari 45 negara yang disurvei.



Hal itu berimbas pula pada buruknya sumberdaya manusia yang dihasilkan. Saat ini SDM Indonesia berada di posisi 112 dari 175 negara. Bahkan, di Jawa Timur, dalam seleksi penerimaan calon pegawai negeri daerah yang diumumkan tahun 2006 dilaporkan banyak formasi yang tidak terisi karena tidak satu calon pun yang mengikuti ujian memenuhi nilai standar yang ditetapkan.



"Tidak ada satu pun negara yang maju hanya dengan berpikir, berdiskusi, berseminar, tapi kemudian meminta orang lain membangun bangsa kita;tidak! Tidak satu pun bangsa bisa maju dengan cara seperti itu."

Membangun bangsa ini adalah tanggungjawab kita bersama. Atmosfer yang nyaman dan stabilitas politik yang baik akan membuat pertumbuhan pembangunan bangsa bagus juga. Masih segar dalam ingatan kita pada dekade 1970-an orang-orang Malaysia berduyun-duyun untuk menimba ilmu di Indonesia, tetapi keadaan ini sekarang telah terbalik.Kita banyak terlena dan dininabobokan oleh kepuasan semu, akhirnya tertinggal di belakang.



Minat baca yang rendah di Indonesia juga penghalang lain, untuk mengejar ketertinggalan Indonesia. Buku memegang peranan vital, karena merupakan jantung dan hal prinsip pokok untuk mencapai kemajuan. Persoalan minat baca menjadi hal penting bagi negeri ini, terlebih lagi setelah media televisi menggempur dalam beberapa tahun ini. Dari data yang sempat muncul, kemampuan minat baca negeri ini sangat mengkhawatirkan. Organisasi International Educational Achievement (IEA), pada tahun 2000 menempatan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara. Hal ini sama artinya terendah di antara negara-negara ASEAN.



Dengan kondisi seperti itu bukanlah hal yang mengejutkan bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara Asia yang diteliti. Salah satu penyebabnya adalah bahwa pasokan buku untuk masyarakat Indonesia masih terasa kurang. Dalam hitungan International Publisher Association, Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku. Posisi kedua ditempati oleh Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.



Penyebab kedua, minimnya jumlah perpustakaan yang kondisinya memadai. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300 ribu SD hingga SMU, baru 5 persen yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1 persen dari 260 ribu SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20 persen dari 66 ribu desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai.Boleh jadi, rendahnya kebiasaan membaca tersebut erat kaitannya dengan pendapatan per kapita bangsa ini.



"Fungsi dan kegunaan dari membaca buku teramat banyak. Selain meningkatkan pengetahuan, membaca juga bisa meningkatkan kemauan. Kalau pengusaha tidak membaca buku manajemen yang baru, bagaimana dia mau memperbaiki usahanya? Kalau pemerintah tidak membaca banyak buku tentang bagaimana mengatur pemerintahan dengan baik, tentu sulit."



Bahkan menurut Jussuf Kalla, apa yang dilakukan penerbit buku jauh lebih besar manfaatnya dibandingkan pemuka agama.

"Bila seorang ustaz menyampaikannya hanya kepada 100-200 jamaah di masjid. Anda bisa menyampaikannya kepada 1000 orang yang membaca buku tersebut dan berkali-kali membacanya; dan itu sungguh luar biasa dilihat dari sisi amalnya."

"Kini persoalan penting adalah mengejar ketinggalan negeri ini dari beberapa negara tetangga yang jauh lebih baik dalam soal minat baca. Upaya yang dilakukan pemerintah mendorong dan tentu membantu para penerbit. Antara lain dengan memberikan insentif pajak untuk penerbit, bagaimana kertas yang lebih baik, bagaimana menjaga suatu royalti, bagaimana hak cipta; semua adalah tugas pemerintah menjaga konsistensi dari penerbitan kita yang memberikan makna yang besar."



Persoalan ketenagakerjaan yang rumit dan penuh masalah, khususnya tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar negeri salah satunya penyebabnya adalah kualitas keahlian yang dimiliki lulusan masih kurang. Umumnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri tersebut berprofesi sebagai kuli atau pekerja kasar, tentu ini sangat memprihatinkan.

"Bandingkan ujian tahun 1960-an dengan tahun 2000-an. Begitu gampang lulusnya. Itulah yang menyebabkan bangsa ini kemudian sebagian besar kalau ke luar negeri cuma menjadi kuli bangunan, pembantu rumah tangga, sopir atau buruh perkebunan; jarang sekali yang menjadi ahli-ahli, insinyur, karena tingkat pendiidikan kita."

"Dengan demikian, standar nilai kelulusan yang diterapkan dalam sistem pendidikan saat ini merupakan salah satu upaya memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini."



"Jadi, sebenarnya suatu bangsa bisa maju karena ingin maju, ada kultur untuk maju. Itu ditempuh dengan pendidikan yang keras; tidak ada suatu negara maju tanpa itu."



Menyadari pentingnya buku berkualitas, kami menyediakan sejumlah buku penunjang untuk memperkaya pengetahuan dapatkan di http://rapidshare.com/files/416745957/Buku_Penunjang.pdf

Dapatkan juga Peraga pendidikan yang memiliki peran penting sebagai media untuk mempercepat dan memperbaiki pemahaman dalam proses pembelajaran dan menyempurnakan pemahaman dari penjelasan buku. Dapatkan katalognya di http://rapidshare.com/files/416746107/Peraga-SD.pdf

Sumber : Adaptasi dari buku "Berbekal Seribu Akal, Pemerintahan Dengan Logika;Sari Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla", Gramedia 2007 dan diperkaya sejumlah sumber.

Komentar