Optimalisasi Pendidikan : Sindrom Peter Pan Vs Cinderella Complex (Sisi Keluarga bagian 1)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..". (QS. At Tahrim:6]

Pendidikan di sekolah akan berjalan secara optimal jika prosesnya berjalan dengan baik didukung oleh tenaga pengajar, kurikulum dan sarana yang baik. Selain itu faktor eksternal berupa pendidikan keluarga dan masyarakat punya pengaruh besar terhadap kesuksesan pembelajaran. Tiga pilar tersebut yakni sekolah, keluarga dan masyarakat/negara harus terintegrasi untuk menyukseskan pendidikan.

Sindrom Peter Pan Vs Cinderella Complex
Dan Kiley lewat bukunya The Peter Pan Syndrome, Men Who Have Never Grown Up, menulis bahwa sindrom ini terlihat seperti tampak pada tokoh Peter Pan, yakni novel JM Barrie dari Skotlandia (1860-1937), yakni seorang bocah laki-laki nakal yang takut kehilangan masa kanak-kanaknya yang menyenangkan, menolak menjadi dewasa. Sedangkan di lain sisi juga terjadinya sindrom Cinderella complex, yakni suatu keinginan perempuan untuk diselamatkan dan dibahagiakan oleh ‘sang pangeran’.

Sindrom Peter Pan

• Terbiasa hidup nyaman tanpa beban
• Tidak suka bekerja keras
• Suka kegiatan yang banyak bermain
• Tidak ingin menjadi dewasa/mandiri
• Tidak berani mengambil keputusan dan menanggung resiko
• Kurang percaya diri
• Tergantung pada orang lain
• Suka melawan
• Pemberontak
• Sulit berkomitmen
• Mudah marah jika keinginannya tidak terpenuhi
• Tak bisa menerima kritikan
• Mudah sakit hati
• Cinta diri sendiri secara berlebihan
• Senang memanipulasi

Cinderella Complex

Sebuah ketakutan tersembunyi pada perempuan untuk mandiri karena
• Terbiasa hidup susah dan menderita sehingga yang ada dalam pikiran mereka adalah keinginan untuk selalu diselamatkan, dilindungi dan disayang oleh ‘sang pangeran’.
• Selalu dimanjakan oleh ayah sehingga mendambakan suami seperti sosok ayahnya.
Yang mereka takutkan dalam pernikahan
• Mertua
• Karakter pasangan
• Kehidupan ekonomi
• Tidak mampu menyesuaikan dengan pasangan
• Tidak bisa mendidik anak
• Pasangan tidak punya qawwam (kepemimpinan)

Anak-anak dengan karakter tersebut adalah anak-anak yang dimanjakan dan selalu dilimpahi kenyamanan dari orang tuanya. Ia mencontohkan beberapa kejadian yang ‘umum’ . Ibu tergopoh-gopoh mengantarkan keperluan anak ke sekolah karena sang anak lupa membawanya. Orang tua yang merepotkan diri mengerjakan tugas sekolah anaknya. Contoh-contoh seperti itu merenggut banyak hal dari anak, mulai dari ketrampilan hingga konsep dirinya sebagai orang yang mampu mengerjakan sendiri. Padahal dalam fase anak usia sekolah tersebut hendaknya nilai kemandirian dan kedisiplinan lah yang harus ditanamkan.

Tanggungjawab orang tua adalah menyiapkannya sehingga anak-anak tersebut menjadi anak yang sholeh dan sholehah, termasuk bagaimana kelak nantinya untuk menjadi suami dan istri yang baik. Kesalahan yang banyak terjadi saat ini adalah kesalahan target pengasuhan anak yang dilakukan yang orientasinya sangat umum yakni supaya anak menjadi sarjana, bekerja dan menjadi orang kaya atau hanya berorientasi dunia semata. Hal ini juga juga menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka per ceraian di Indonesia. Angka perceraian di Indonesia menempati urutan pertama di negara Asia Pasifik dan negara dunia Islam. Data dari Dirjen Bimas Islam Departemen Agama 2007 menyebutkan bahwa 70 persen faktor utama perceraian tersebut, bukan masalah ekonomi tetapi perselingkuhan. Tentu faktor eksternal juga banyak berpengaruh terhadap hal ini.

Menurut Elly Risman, psikolog lulusan Universitas Indonesia, mengingatkan empat hal utama yang dipersiapkan untuk mendidik anak sejak dini untuk nantinya bisa membina keluarga yang islami.



1. Anak harus mengetahui yang baik dan yang buruk.
Agama harus ditanamkan sejak dini. “Kalau anak sibuk sekolah, PR, les, ayah bunda sibuk cari uang untuk membiayainya, kapan mengenalkan Allah?” Nilai agama ini akan menjadi pondasi yang kuat bagi anak kelak.

2. Anak harus memiliki konsep diri yang bagus.
Rasa percaya diri harus ditanamkan pada anak untuk bisa melakukan tugas dan kewajibannya. Hal ini harus dilatihkan sejak kecil dengan mulai melakukan tugas yang ringan sehingga membangun rasa kompetensi anak. “Jangan sedikit-sedikit, sini Nak, Mama kerjakan”.

3. Anak harus dilatih berpikir kritis.
Dengan kemampuan ini, anak tak akan mudah terbawa arus yang melanda dari dunia luar. Orang tua penting mengajarkan penggunaan akal sehat pada sang anak.

4. Anak harus mandiri dan bertanggung jawab.
Orang tua penting mengajarkan anak melakukan segala sesuatu sendiri dan secara bertahap dilatih mengambil keputusan sendiri. Setelah itu orang tua pun harus ‘tega’ membiarkan anak merasakan konsekuensi dari keputusannya. Banyak orang tua berusaha melindungi anak dari ketidaknyamanan konsekuensi ulah sang anak. Ingatlah kelak anak tersebut atas keluarganya sendiri.


Melatih Adversity Quotient-nya
Adversity quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk bertahan dan mengatasi setiap kesulitan lewat perjuangan. AQ menunjukkan kadar kemampuan orang mengatasi kemelut tanpa putus asa. Hal ini juga terkait dengankadar keimanan seseorang.
Orang tua adalah salah satu faktor utama rendahnya AQ seorang anak. Bagaimana tidak jika Anak selalu dimanjakan, diantar jemput dibebaskan dari berbagai tugas agar berkonsentrasi pada pendidikan akademik semata. Ibaratnya anak harus sukses jadi master, dan berpenghasilan besar. Kenyataan di lapangan bahwa akademik hanya menyumbang kurang dari 50% kesuksesan seseorang.



Ayah bunda yang terlalu sibuk mencari uang untuk membiayai seluruh kebutuhan si buah hati. Tidak pernah hadir secara emosional dan spiritual. “Kapan punya AQ? Anak seperti itu tidak akan menjadi tangguh”, menurut Elly.

Anak seperti itu, Elly mengibaratkan dengan laron, mudah diterbangkan kemana-mana. Ia akan mudah terpengaruh lingkungannya yang buruk. Tak tangguh menghadapi godaan, narkoba, pornografi, materialisme dan lain-lain.

AQ ini dibutuhkan pada setiap sisi kehidupan, termasuk pada saat membina keluarga kelak. Apabila AQ-ya rendah, ia akan mudah menyerah saat menghadapi masalah dalam keluarga. Mereka dengan mudah melepaskan perkawinannya. (Diadaptasi dari Republika, Ahad 1 Mei 2011)

Komentar